Penulis: Dudi Akasyah, SAg, MSi.
Penulis mengikuti diskusi bersama Jend. Pol. Tito Karnavian, AS Hikam (Menristek era Gusdur), As’ad Ali (Mantan Wa Ka BIN) berkaitan tentang Terorisme, dalam acara bedah Buku Deradikalisasi karya Muhammad AS Hikam
Terorisme sedang hangat-hangatnya dibahas, hampir semua aspek tentang terorisme tak luput menjadi perhatian para ahli dan semua kalangan, tidak hanya di Indonesia, melainkan telah menjadi isu internasional.
Akar Radikalisme
Seiring dengan aksi teror yang mencuat, banyak fakar dari berbagai disiplin ilmu yang mengkaji tentang sumber dari radikalisme, salah-satunya dari aspek psikologis. Para fakar menelusuri apakah sumbernya berasal dari faktor kemiskinan, rendahnya pendidikan, atau abnormal?
Ternyata bukan itu jawabannya, bukankah Osama bin Laden itu seorang milyuner, Aiman al-Jawahiri seorang dokter, dan Doktor Azhari berpendidikan tinggi, dan sebagainya. Jika penyebabnya adalah agama Islam, bukankah banyak juga teror yang dilakukan Katolik, Protestan, Buddha, dan yang lainnya, kita juga melihat bahwa banyak kasus penembakan brutal di Amerika Serikat yang berujung pelaku bunuh diri disebabkan oleh banyak faktor. Terorisme dapat terjadi pada semua kalangan.
Terorisme di Indonesia
Perang yang panjang di Afganistan, kemudian disusul dengan perang di Suriah telah banyak diikuti oleh orang Indonesia; sekembalinya mereka dari sana, para “alumni” Afganistan dan Suriah menimbulkan kerentanan merusak ketentraman masyarakat Indonesia. Kini, boleh jadi jumlah orang yang berpotensi menjadi teroris sama banyaknya dengan pelaku curanmor, mengingat jumlah WNI yang pulang dari Suriah cukup banyak.
Teroris: Kepentingan Bisnis, Politis atau Agama?
Teror dapat terjadi dalam semua kepentingan. Teror dapat terjadi dalam dunia bisnis. Persaingan bisnis yang tak sehat selalu diwarnai intrik. Tujuan menghalalkan berbagai cara. Timur Tengah yang memiliki kandungan minyak bumi berlimpah menjadi rebutan banyak negara, melalui teror maka penguasaan kekayaan minyak akan memiliki legitimasi.
Terorisme yang terjadi di berbagai belahan dunia berasal dari berbagai kepentingan. Jika ditelusuri berbagai kasus, faham radikal bisa saja terjadi di Islam, Katolik, Protestan, Buddha, dan agama yang lainnya. Terjadi juga dalam persaingan bisnis, mafia, etnis/suku bahkan terorisme bisa juga dilakukan negara. Sebagai contoh, war of terorism digunakan di Srilanka agar negara dapat melegitimasi kekuatan militer, hal serupa terjadi juga di beberapa negara. Terorisme tidak hanya terjadi dalam agama, namun juga dapat muncul dalam dunia bisnis, ideologi (komunis, dsb), bahkan negara bisa melakukan teror.
Pemberitaan di media yang gencar memberitakan terorisme di kalangan Islam sehingga seolah-olah terorisme itu adalah Islam adalah merupakan pandangan keliru, sebab dalam sejarahnya teror itu dapat terjadi pada semua pihak.
Samuel Huntington memprediksi bahwa setelah runtuhnya Uni Sovyet maka akan terjadi perang eropa dengan Islam, namun kata Thariq Ali, peperangan justru akan terjadi antar fundamentalisme. Sebagai contoh Bush.
Radikalisasi tidak hanya menyangkut orang islam, ada juga radikalisasi suku, di Irlandia terjadi radikalisasi protestan dan katholik, Buddha di Myanmar, bahkan teroris juga bisa dilakukan oleh negara, demikian pernyataan di sampaikan Tito Karnavian dalam bedah Buku Deradikalisasi, karya M AS Hikam (2016).
Nilai-Nilai Agama
Agama memiliki seperangkat nilai luhur yang meresap secara kuat di masyarakat, berlaku di masyarakat dan sangat dibutuhkan mengisi semua sisi kehidupan yang dipenuhi kedamaian, ketentraman, kasih-sayang, dan kesejahteraan. Ajaran agama selalu mengandung hal-hal yang simpatik, keteladanan, diterima secara konsensus. Pribadi yang beragama sepatutnya lebih simpatik di tengah-tengah masyarakat. Agama memiliki corak: (1) Belief system, fungsi edukatif (2) System of worship (pengorbanan) (3) Fungsi salfatif (penyelamatan, kedamaian, ketenangan) (4) Fungsi sosiologis, hablum minannaas yaitu hubungan yang baik antar sesama manusia, sekaligus agama berfungsi sebagai social control.
Agama itu sangat lunak, lembut, dan ramah tetapi kenapa disalah-artikan menjadi sangar dan radikal? Agama itu baik namun orang yang pemahamannya dangkal telah mendistorsi. Oknum inilah yang biasa menggunakan kepentingan/kejahatan pribadi dengan mengatas-namakan agama.
Tentang terorisme agama. Ideologi takfiri sangat berbahaya, sebab kelompok ini akan memandang siapa yang bukan kelompoknya, maka—meski kepada muslim pun—mereka tak segan menyebutnya kafir dan halal darahnya. Ideologi jihadi salafi maupun ideologi takfiri merupakan akar dari terorisme, keduanya bukan produk dari Indonesia, tetapi dari luar.
Pemikiran para cendikiawan Muslim (Islamic scholar) dari Indonesia selalu mengusung nilai-nilai kedamaian, ketauladanan, dan kemasyarakatan. Islam masuk ke Indonesia dengan damai, banyak hal positif yang dapat dipetik dari manhaj (metode dakwah) para ulama di Indonesia. Tak heran jika Pakistan mempunyai keinginan untuk mengadopsi model pendidikan Gontor agar diberlakukan di negeri mereka.
Ada beberapa pendekatan untuk mencegah radikalisasi, diantaranya: (1) deradikalisasi yaitu melemahkan faham radikal (2) counter radikalisasi, kontra radikalisasi atau penangkalan radikalisasi, misalnya mantan teroris memberikan pencerahan kepada orang yang rentan terkena faham radikal, meluruskan fahamnya yang salah selama ini. Mantan teroris yang notabene pernah terlibat terorisme (insider) akan lebih didengar oleh orang yang terkena faham radikal.
Namun, peran para ulama moderat juga sangat dibutuhkan guna meluruskan faham yang melenceng, perlu diluruskan kembali arti jihad, kaffah, hijrah, bai’at, zakat, dakwah sirriyah (dakwah secara sembunyi-sembunyi), pengkafiran, halal darahnya, dan sebagainya (3) Counter Ideology (4) Counter internet/media, para teroris menggunakan media di dalam melakukan cuci otak, doktrin-doktrin, dan rekrutmen. Hal itu perlu dilakukan pengawasan, termasuk pemblokiran terhadap media yang dicurigai berafiliasi dengan jaringan teroris. Di sisi lain, diperlukan juga publikasi dari media yang sama untuk meluruskan pemahaman yang menyimpang. (5) Pemetaan atau analisasi wilayah. Terdapat beberapa daerah yang kerap memunculkan terorisme. Perlu dilakukan serangkaian kajian dan pencerahan dari pihak terkait, serta keterlibatan dari tokoh agama, bahkan perlu menjalin kerjasama dengan masyarakat sipil.
Memaknai Syariah
Memahami syariah di dalam Islam tidak hanya dalam lingkup hukum tetapi bermakna luas, termasuk di daam bidang sastra, tradisi (urf), sains, humanisme, toleransi dan sebagainya.
Jihad yang sesungguhnya bermakna sangat baik yakni mengerjakan kebaikan dengan “sungguh-sungguh”, seperti menahan marah, mendirikan pesantren, belajar ilmu, berbakti kepada orang tua, atau menyantuni fakir miskin; kini jihad disalah-artikan menjadi perang, teror, bom bunuh diri, menebar benci, mengkafirkan dan obsesi membunuh orang yang bukan kelompoknya (thagut).
Seiring dengan menjamurnya faham radikal, makna jihad yang sebenarnya positif kini telah banyak diselewengkan. Gencarnya faham radikal yang menyalah-artikan makna jihad dapat membahayakan sehingga pemahaman jihad perlu diluruskan kembali. Jika tidak, hal ini menimbulkan kerentanan mempengaruhi psikologis anak muda yang masih labil. Apalagi banyak ditemukan kasus pemboman yang dilakukan oleh anak-anak muda.
Jihad juga ada fikihnya. Agama memiliki hukum perang yang dilengkapi dengan aturan-aturan (kaifiyah), fikih tersebut yang menjadikannya menjadi legal.
Misalnya, permainan/olahraga tinju jika dilakukan di dalam ring maka hal itu legal, namun jika dilakukan di luar ring bisa dikenakan pidana. Warga yang mau digusur saja membutuhkan beberapa negosiasi, kompromi, perundingan, dan sejenisnya, apalagi mau “mencaplok” nyawa orang lain, apatah lagi mendeklarasikan perang. Aturan Tuhan, jauh lebih lengkap dan sistematik serta bisa diterima secara nalar dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian makna jihad tidak sempit, picik, pengecut dan mengenyampingkan akal budi manusia. Di dalam Al-Quran banyak ditemukan ajakan untuk menggunakan akal pikiran: afalaa ta’qiluun (apakah kamu tidak berakal), hal ini ditujukan bahwa hukum Tuhan itu selaras dengan akal budi manusia.
Jihad, yang bermakna sungguh-sungguh, memiliki makna yang sangat baik, semua dari kita membutuhkan semangat jihad. Lingkupnya mencakup seluruh profesi dan dibutuhkan dalam segala dimensi kehidupan. Sastrawan yang memiliki semangat jihad maka ia akan berkarya dan menginspirasi, media yang berjihad maka ia akan menjadi media yang bermanfaat untuk publik, demikian juga dokter, pelajar, guru, santri dan yang lainnya.
Islam sebagai Negara (negara)
As’ad Ali, ulama NU sekaligus mantan Wakil Kepala BIN , menyatakan yang selalu digaungkan oleh Nabi adalah menumbuhkan nilai-nilai yang baik di masyarakat, mendudukan manusia kepada kodratnya, memanusiakan manusia, dan menjauhkan manusia dari perbuatan yang tak pantas dilakukan manusia, seperti nilai kebinatangan dan sifat syaithoniyah. Inti dari ajaran Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, pembawa kasih sayang untuk seluruh alam, tidak hanya menyayangi sesama manusia tetapi menyayangi seluruh makhluk ciptaan-Nya, menciptakan kondusivitas di daratan maupun di lautan dan harmoni antara hubungan bumi dan langit.
Dinamika Ideologi
Perkembangan ideologi saat ini tumbuh dengan cepat, apabila ideologi itu mampu menjawab berbagai kebutuhan maka ia (ideologi) akan semakin kuat dan semakin memperoleh dukungan orang banyak, sebaliknya apabila ideologi itu tidak mampu menjawab perkembangan jaman maka ideologi itu akan ditinggalkan dan orang-orang akan mencari ideologi alternatif. Negara perlu terus mengarahkan agar dinamika ideologi dapat tetap terarah menuju kemaslahatan yang lebih luas.
Penanganan terorisme membutuhkan kerjasama berbagai kalangan, termasuk Nahdhatul Ulama termasuk juga Mendiknas mengingat usia rawan adalah usia remaja yang masih mengenyam pendidikan sekolah.
Mengubah ideologi bukanlah pekerjaan yang mudah. Ideologi itu lebih kuat daripada baja dan lebih lembut atau lebih kecil dari atom/ion. Banyak contoh para tokoh yang di penjara namun ideologi mereka masih besar menyala-nyala; mereka lebih memilih ditembak daripada menghilangkan ideologi dari dirinya, di sisi lain pengaruh ideologi bisa menular ke individu-individu lainnya.
Meski demikian, sekuat apapun ideologi, jika haluannya salah maka hal itu masih dapat diluruskan kemudian diganti dengan ideologi yang benar, dimana hal itu perlu ditemukan akar masalah kemudian ditangani oleh ahli yang berkompeten maka ideologi yang menyimpang akan mampu dihalau, diluruskan, dan diklarifikasi. Ideologi sejatinya adalah prinsip hidup yang menuntun kepada kehidupan yang lebih baik, berbuat baik terhadap sesama, dan memberikan keteladanan dalam kehidupan umat manusia.
Kontra Ideologi
Teroris memiliki ideologi, cara untuk menyadarkannya adalah dengan ideologi. Ada beberapa ideologi yang menjadi pilihan, yaitu: Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, UUD tahun 1945, ideologi juga bisa bersumber dari agama, yaitu ayat-ayat suci. Teroris yang kerap menggunakan ayat-ayat suci sebagai ideologinya maka perlu dihadapi dengan ayat-ayat suci juga, ideologi dilawan ideologi (kontra ideologi); ayat suci dihadapi dengan ayat suci; senjata dihadapi dengan senjata.
Pidana penjara juga perlu dilakukan untuk menimbulkan efek jera namun untuk penanggulangan ke akar-akarnya maka perlu dilakukan kontra ideologi.
Pemikiran manusia selalu diwarnai oleh dinamika. Orang selalu mencari ideologi yang lebih cocok, berpindah dari satu ideologi ke ideologi yang lainnya jika yang sebelumnya tidak memuaskan atau mengecewakan. Misalnya: orang memiliki ideologi demokrasi, namun kemudian ia dikecewakan oleh ideologi tersebut sehingga mencari ideologi alternatif, seperti khilafah atau yang lainnya.
Menghentikan dukungan kepada yang mendanai teroris
Pemerintah perlu memeriksa secara komprehensif tentang sumber dana para teroris. Jaringan mereka bukanlah jaringan kecil yang tentunya disokong dana yang besar. Dari berbagai hasil investigasi menunjukan bahwa terorisme yang berada di Indonesia berada di bawah kendali pihan luar. Hal ini terbukti dari keterangan narapidana teroris bahwa mereka tidak mengetahui siapa pemimpin mereka (amir). Jika ditilik dari kesamaan modus maka jaringan mereka adalah ke luar negeri, jaringan internasional. Terorisme yang terjadi di negeri ini, bukan murni produk Indonesia melainkan buatan dari luar.
“Pengantin-pengantinnya” masih masih muda, perlu pencegahan segera
Sebagian pelaku adalah yang berusia muda. Jiwa mereka sangat mudah terkena pengaruh dari luar, ada sedikit saja pemicu maka mereka segera bereaksi, apalagi jika dihadapkan pada isu ketidak-adilan, diskriminasi, dan kekuatan fisik.
Ada gerakan terselubung, doktrin yang tersembunyi disisipi dengan ayat-ayat suci yang disalah-artikan dan komunikasi yang intensif, disertai dengan berbagai ancaman.
Mantan teroris jangan dimarjinalkan
Adapun para pelaku yang sudah insyaf maka ia perlu dikembalikan secara wajar ke masyarakat. Tak perlu diawasi secara terus menerus sebab hal itu akan memunculkan stigma yang tidak baik.
Individu yang diawasi terus-menerus maka ia rentan akan kembali ke habitatnya semula. Dalam ilmu kriminilogi disebut sebagai “labelling theory” yaitu seseorang yang diberi “cap” negatif oleh lingkungan sosialnya maka ia akan melakukan apa yang dicapkannya tersebut.
Mantan teroris jangan sampai dimarjinalkan, mereka perlu dirangkul dan diterima di masyarakat sebagaimana mestinya. Sebab jika terus menerus dicurigai dan diawasi maka bukan tidak mungkin jika mereka akan kembali menjadi teroris. Mantan teroris yang terus didiskriminasi bukan tidak mungkin menyuruh anaknya untuk ikut ke Suriah bergabung dengan ISIS. Tentu, hal itu jangan sampai terjadi. Ideologi mereka dapat dikikis atau diluruskan manakala dilakukan pendekatan yang harmonis dan bersahabat.
Pidana Penjara: Efektifkah?
Efektifkah penjara, banyak mantan napi teroris menjadi teroris lagi. Memang benar, teroris harus diberikan hukuman yang setimpal. Pidana kurungan penjara berfungsi agar pelaku jera. Namun di sisi lain efektifitas pidana penjara bagi teroris masih dipertanyakan? Terbukti, kebanyakan pelaku teroris adalah mereka pernah dihukum penjara (residivis) dengan kasus yang sama. Pelaku terorisme memiliki alasan berbeda-beda tentang kenapa mereka terlibat tindak pidana terorisme, salah-satu faktornya adalah ideologi. Ideologi inilah yang membuat individu menutup mata dari pengaruh luar. Apabila ideologi telah tertanam maka akan sulit untuk dihilangkan, meski sekalipun pelaku di penjara maka ideologinya akan tetap hidup.
Ideologi berasal dari kata idea yaitu ide atau gagasan; logos yaitu pengetahuan. Ide atau gagasan tak akan dapat hilang meski pelaku dihukum fisik seberat apapun. Sebagai contoh: Bung Karno, meski ia di penjara namun ideologinya tetaplah bebas. Demikian juga dengan Buya Hamka, walau harus mendekam di jeruji besi namun pemikirannya tak pernah padam, itulah yang dinamakan ideologi.
Pencegahan terorisme di samping pendekatan pemberdayaan ekonomi, atau keterampilan, yang tak kalah pentingnya adalah counter ideologi. Beberapa fakar menggagas bahwa ideologi untuk counter terorisme adalah Pancasila, UUD, dan Bhineka Tunggal Ika. Di samping itu, perlu penelusuran atau mengidentifikasi ideologi apa yang mereka pakai. Apabila yang mereka gunakan adalah ayat-ayat suci maka perlu ditangkal dengan ayat suci. Mereka lebih respek terhadap ayat-ayat suci.
Ideologi itu tidak bisa dipenjara, meski di penjara tapi pelaku masih bisa mengembangkannya dari dalam penjara, intinya perlu dilakukan deradikalisasi Kita harus bisa menemukan diagnosa/sympthom kenapa individu bisa radikal.
Perilaku bom bunuh diri tak dapat dilakukan jika tanpa doktrin yang kuat. Perilaku radikal perlu ditelusuri oleh berbagai bidang ilmu dan para fakar. Narapidana teroris yang berjumlah sekitar 700 orang, kini mereka berada di lapas, dapat dijadikan sampel penelitian. Hal ini bertujuan agar penyebab utama perilaku radikal dalam konteks teroris dapat segera terkuak sehingga dapat segera ditangani secara tepat dan akurat. Jangan sampai salah memberi “obat” akibat dari kesalahan di dalam mendiagnosa. Apabila akar penyebabnya belum ditemukan maka proses pembinaan napi teroris akan sia-sia, bukannya sembuh bahkan sebaliknya semakin menjadi-jadi.
Menelusuri akar masalah
Di dalam menanggulangi terorisme perlu diketahui asal penyebabnya. Jika diibaratkan dengan pasien: jangan sampai salah memberi obat, bukannya pasien sembuh bahkan sebaliknya penyakitnya semakin menjadi-jadi; sehingga pendekatannya pun disesuaikan dengan pola pikir orang yang bersangkutan.
Di dalam sosialisasi pun demikian, perlu para ahli yang berkompeten dilibatkan. Misalnya saat ke pesantren maka perlu disampaikan oleh para kyai atau ulama. Jika bukan ahlinya akan menimbulkan kontra produktif bukannya menangkal malahan memicu, misalnya mensosialisasikan jeleknya jihad ke pesantren malahan membuat para santri terpancing.
Diperlukan ketepatan didalam “mendiagnosis” akar masalah teroris, tidak bisa digeneralisir. Misalnya pembinaan keterampilan / skill / kewirausahaan terhadap napi teroris, hal itu belum tentu efektif sebab pelaku melakukan aksi teroris tidak semuanya bersumber dari keterbatasan ekonomi, banyak juga pelaku yang berasal dari keluarga berkecukupan.
Ayat Suci perlu Dihadapi dengan Ayat Suci, Dalil perlu dihadapi dengan Dalil
Teroris menggunakan dalil dari ayat suci, namun mereka menyelewengkan makna ayat suci. Mereka lebih takut kepada ayat suci daripada senjata, mereka tidak takut dengan mati melainkan mereka sangat takut kepada ayat suci. Di sinilah kita perlu melakukan counter ideologi, yaitu (potongan) ayat-ayat yang mereka gunakan dihadapi dengan ayat-ayat suci juga. Banyak ayat-ayat suci yang dapat meluruskan pendapat teroris.
Pola pikir mereka hanya bisa diluruskan dengan dalil (nash)
Mereka berdalih bahwa surga harus ditebus dengan bom bunuh diri, pendapat itu dapat diluruskan dengan dalil “aljannatu tahta aqdamil ummuhat” (surga itu berada di bawah telapak kaki ibu), apabila seseorang menginginkan surga maka harus berbakti kepada orang tua.
Jika ingin tinggal di surga yang dekat dengan Nabi laksana telunjuk dan ibu jari maka dapat ditempuh dengan membantu yatim dan orang lemah.
Dalil perlu dihadapi dengan dalil, orang yang memiliki faham radikal maka perlu dihadapi dengan dalil-dalil yang mengikis radikalisme.
Ideologi tidak akan lenyap dengan penjara atau hukuman mati. Ideologi berasal dari kata idea (ide atau gagasan) dan logos. Oleh sebab itu, meski fisik dipenjara namun ide tak dapat di penjara. Ideologi hanya bisa diluruskan dengan ideologi. Ayat suci yang kerap digunakan pelaku terorisme perlu diluruskan dengan ayat-ayat suci berdasarkan pemahaman yang benar.
Banyak pelaku teror yang pemahaman agamanya masih dangkal sehingga mereka mudah didoktrin dengan ayat-ayat yang disalah-artikan. Mereka memandang bahwa tidak ada aturan tertinggi selain ayat-ayat suci, selain ayat suci, mereka memandangnya rendah. Oleh sebab itu, perlu disampaikan ayat-ayat suci yang disampaikan secara lengkap berdasarkan pemahaman yang benar.
Simpelnya, counter ideologi, ayat di lawan ayat, bisa dilakukan insider yaitu mantan teroris memberikan klarifikasi tentang ayat-ayat, counter ideologi bisa juga dilakukan oleh para ulama atau tokoh agama agar bisa dicerna oleh anak-anak muda yang rentan terkena pengaruh doktrin yang sesat.
Publikasi/Sosialisasi Pemerintah
Publikasi/sosialisasi pemerintah yang sekarang banyak beredar lebih bersifat hukuman, padahal yang terpenting membangun kesadaran untuk berbuat baik.
Bentuk sosialisasi tersebut misalnya, jika ada hal mencurigakan di lingkungan anda, segera lapor polisi. Atau pelaku ISIS akan dihukum sekian tahun penjara. Di samping pengumuman seperti tersebut di atas, diperlukan juga upaya penyadaran, seperti: “Mencari surga bukan dengan bom, melainkan berbakti kepada orang tua, sebab surga itu berada di bawah telapak kaki ibu.” Jika ingin surga bantulah fakir miskin dan anak-anak yatim, dan sebagainya.
Sehingga dalam publikasi terkandung juga pesan moral dan membangun kesadaran, rasa takut yang terbaik adalah berdasarkan dari kesadaran.
Memoderasi narasi-narasi radikal (kontra ideologi) peranan penting dari Islamic Scholar
Universitas Islam di Indonesia banyak tersebar, para sarjana Islam, para cendikiawan, para santri, dan para ulama merupakan potensi yang sangat besar untuk melakukan kajian-kajin dan penelitian guna menelusuri akar masalah terorisme. Kajian terhadap ayat-ayat yang kerap diselewengkan serta ayat-ayat mana yang diperlukan untuk meluruskannya.
Pemikiran dari para sarjana Islam sangat diperlukan mengingat penelitian tentang terorisme sangat minim. Terdapat banyak penelitian yang belum dikaji padahal bahan sampelnya sangat banyak, misalnya: tahanan teroris sekarang mencapai 700 orang dimana hal tersebut dapat menjadi lahan penelitian yang bermanfaat untuk penanggulangan terorisme.
Kita juga memerlukan buku yang menjabarkan dan meluruskan beberapa istilah yang diselewengkan oleh teroris, seperti makna jihad, hijrah, bai’at, kaffah, syahid, dan sejenisnya, hal inilah pentingnya bersinergi dengan para ulama dan fakar yang kompeten (islamic scholar).
Banyak narasi-narasi agama yang membutuhkan kajian dari para ulama, seperti jihad qital (jihad perang). Pembahasan dari para ulama (bahtsul masa-il) akan memberikan pencerahan kepada masyarakat awam sehingga mereka dapat mudah untuk mencerna sehingga terhindar dari oknum “pengajar/mentor” yang tak bertanggung-jawab.
Teroris di Indonesia berdalih melakukan bom bunuh diri adalah berburu sahid. Memburu syahid di negeri yang aman seperti Indonesia adalah melalui ibadah, berbuat baik, dan menjauhkan diri dari berbagai maksiyat. Berburu syahid sepantasnya diartikan sebagai seorang anak yang berbakti kepada orang tua, seorang murid yang sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, seseorang yang berjuang keras untuk kepentingan orang banyak, dan banyak lagi amal yang mengantar orang menuju surga. Mati syahid disalah-artikan oleh teroris sehingga makna syahid bukannya menebar kebaikan melainkan melakukan kejahatan yang besar.
Apabila pemahaman-pemahaman di atas tidak diluruskan maka akan banyak korban yang terkena pengaruh negatif. Jika tidak segera diluruskan maka faham terorisme akan masuk, seperti penyebutan jihad yang diartikan sebagai call of war sehingga jihad bukan lagi bermakna positif dan produktif melainkan berubah makna menjadi negatif, radikal, dan destruktif.
Masalah di negeri ini adalah lemahnya koordinasi
Di dalam menangani terorisme, lembaga-lembaga pemerintah tidak mampu menjalin kordinasi dengan baik akibatnya penangangannya menjadi tidak maksimal. Lembaga hanya seringkali hanya menjalankan perintah atasan saja, bergerak hanya di saat ada proyek (dana) saja padahal penangkalan terorisme perlu dilakukan secara berkesinambungan, demikian juga rehabilitasi terhadap mantan teroris dan pencegahan masuknya faham-faham radikal ke masyarakat dimana kesemuanya itu membutuhkan pembinaan yang berkelanjutan.
Lunturnya Identitas Bangsa
Saat ini identitas bangsa yang mengusung gotong royong, toleransi, dan ramah kini sudah luntur. Akibatnya, orang lebih individualistis, saling mencurigai, saling menyudutkan, dan sektarian. Situasi tersebut sangat mudah untuk disulut, faham radikalisme akan mudah tumbuh, seperti api yang melahap ranting-ranting kering.
Penanganan belum terkoordinasi
Di dalam menangani terorisme, di negeri ini belum ada koordinasi yang baik. Masing-masing lembaga seolah masih berjalan sendiri-sendiri. Perlu dibentuk satgas yang terdiri dari berbagai unsur. Kita memerlukan satgas yang terdiri dari unsur ulama seperti Nahdlatul Ulama, dsb
Format kebersamaan, perlu kebersamaan
Pemberantasan terorisme membutuhkan kerjasama dari semua pihak, tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, dan mustahil juga jika hanya dipikul oleh satu pihak saja. Sekarang ini, pemberantasan terorisme seolah-oleh hanya bertumpu di kepolisian, khususnya Densus 88, padahal banyak lembaga pemerintahan yang sebenarnya dapat dilibatkan, di sisi lain partisipasi dari masyaralat juga sangat minim.
Ketidak-aktifan masyarakat dikarenakan: (1) Kurangnya kesadaran masyarakat (2) Minimnya upaya pemerintah di dalam menjalin kerjasama dengan masyarakat, khususnya dalam penanggulangan terorisme.
Peranan masyarakat sipil dalam menanggulangi terorisme
Terorisme telah mewarnai isu yang berkembang pada saat ini dimana masyarakat luas pun telah banyak mengetahuinya. Namun, masyarakat masih bersikap pasif. Mereka memandang bahwa hanya polisi yang lebih berhak menangani terorisme, padahal terorisme mencakup banyak aspek yang mustahil dapat ditangani oleh polisi sendirian, salah-satunya pencegahan terorisme.
Masyarakat dinilai lebih efektif di dalam pencegahan, seperti melakukan bimbingan terhadap para pemuda yang rentan terkena pengaruh faham radikal, mengawasi gerak-gerik yang mencurigakan, dan memberi pencerahan untuk meluruskan pandangan yang salah.
Institusi yang menangani masih parsial
Siapakah pihak yang bertanggung-jawab menangani terorisme? Untuk menjawab pertanyaan ini adalah sulit, sesulit menangani terorisme itu sendiri. Lembaga sekarang berjalan masing-masing. Di satu sisi masalah terorisme merupakan masalah serius bahkan termasuk masalah global namun di sisi lain penanganannya masih bersifat parsial. Perlu dibentuk satuan tugas (satgas) sehingga penanganannya dalam satu koordinasi. Satgas terdiri dari berbagai unsur, dari kepolisian, para fakar, termasuk dari Nahdlatul Ulama.
Kontra ideologi dapat dilakukan oleh masyarakat sipil
Masyarakat sipil juga dapat melakukan kontra ideologi terhadap penyimpangan ideologi terorisme, mereka (masyarakat) perlu diberikan porsi untuk membantu aparat penegak hukum. Permasalahan teror bukan saja masalah polisi, atau negara, namun juga masalah masyarakat.
Berapa banyak orang tua yang kehilangan anaknya, masyarakat juga mengalami hilangnya rasa aman, tokoh agama termasuk guru ngaji khawatir mereka menjadi korban salah sasaran Densus 88; tindakan teroris telah meresahkan masyarakat sehingga mereka perlu untuk dilibatkan di dalam melaksanakan deradikalisasi. Keterlibatan masyarakat dapat dilakukan dari atas sampai ke bawah, di lingkup atas dapat melibatkan Nahdlatul Ulama, di bawah dapat melibatkan majlis taklim maupun masjid-masjid. Dapat juga dilakukan terhadap agama-agama yang lain.
Selama ini penanganan terorisme masih tergolong eksklusif, hanya dilakukan oleh lembaga-lembaga tertentu, seringkali juga bersifat rahasia. Boleh jadi kerahasiaan itu berguna, namun jika rahasia digenerasilisir maka akibatnya aparat akan kesulitan sebab hal itu berakibat tertutupnya ruang kerjasama dengan berbagai pihak, terlebih lagi dengan masyarakat.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang cinta damai, reliji, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Bangsa ini sangat membenci radikalisme, terlebih teror dalam semua bentuk. Tentu, langkah-langkah untuk menjalin kerjasama pemberantasan terorisme bersama masyarakat merupakan langkah yang menguntungkan semua pihak, baik aparat maupun masyarakat. Terlebih lagi untuk pencegahan terorisme yang diakibatkan multi faktor maka perlu dilakukan kerjasama dalam lingkup yang lebih luas.
Penutup
Indonesia merupakan negeri yang damai, toleransi, ramah, dan saling hormat-menghormati. Terdiri dari berbagai suku, bahasa, dan budaya, semuanya tertata menjadi suatu harmoni. Indonesia merupakan negara yang bersatu, berbahasa satu, berbangsa satu, dan bernegara satu, yaitu Indonesia. Munculnya terorisme menghendaki agar bangsa Indonesia terpecah, terorisme menghendaki semua komponen terpecah dan hancur. Tidak hanya dalam berbangsa, bahkan dalam beragama, teroris berkehendak memecahnya. Terorisme memecah penganut Islam, masing-masing kelompok saling mengkafirkan (takfiri) dan saling menghalalkan darah.
Semua komponen bangsa bisa saja (rentan) terkena pengaruh teroris, tanpa pandang agama, suku, status sosial, bisnis, budaya, dan sejenis. Kita perlu mengembalikan kedamaian nusantara dan negeri yang bersatu sehingga mampu fokus di dalam mensejahterakan rakyat dan meningkatkan martabat bangsa di dunia internasional.
Penulis:
Dudi Akasyah,
Jakarta, 2016
[…] Sumber Berita […]